Menjawab Tuduhan Dusta Terhadap Dakwah Syaikh Muhammad bin Abdil-Wahhab
MENJAWAB TUDUHAN-TUDUHAN DUSTA TERHADAP DAKWAH SYAIKH MUHAMMAD BIN ABDIL WAHHAB
Oleh
Ustadz Firanda Andirja, MA
Membela harkat dan martabat sesama Muslim merupakan ibadah yang sangat mulia. Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ رَدَّ عَنْ عِرْضِ أَخِيْهِ رَدَّ اللهُ عَنْ وَجْهِهِ النَّارَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Barangsiapa membela kehormatan saudaranya maka Allâh akan membela wajahnya dari api neraka pada hari kiamat.[1]
Terlebih lagi jika yang dibela adalah harkat dan martabat Ulama yang memiliki jasa sangat besar bagi kaum Muslimin sekelas Syaikh Muhammad bin Abdil-Wahhâb rahimahullah , seorang tokoh dan pejuang dakwah yang bermadzhab Hanbali. Berkat jasa beliau rahimahullah maka berdirilah Kerajaan Arab Saudi yang aman dan tenang, dan merupakan satu-satunya negara yang menerapkan hukum dan syari’at Islam. Dan sejak dahulu hingga saat ini banyak dusta yang disebarluaskan tentang dakwah Syaikh Muhammad bin Abdil- Wahhâb rahimahullah ini. Orang yang berakal sehat, tentu, tatkala membaca dusta-dusta itu bakal mempertanyakan kebenarannya, karena tuduhan yang dialamatkan kepada beliau sangat tidak mendasar dan penuh kedustaan.
Berikut diantara tuduhan-tuduhan yang diarahkan kepada Syaikh Muhammad bin Abdil-Wahhâb. Semoga menjadi pencerahan bagi kita dan para penentang-penentangnya.
Pertama: Kaum Wahhâbi Dituduh Sebagai Khawarij ?
Tahukah Anda, siapakah Khawarij itu ? Khawarij adalah suatu sekte sesat yang menggambarkan momok haus darah, hobi menumpahkan darah kaum Muslimin. Apakah hakikat sekte sesat ini ? Sehingga, apakah benar kaum Salafi Wahhâbi adalah Khawarij yang haus darah kaum Muslimin?
Para Ulama yang menulis khusus tentang firqah-firqah Islam telah menyebutkan secara spesifik tentang aqidah Khawarij.
Abul-Hasan al-Asy’ari (wafat 330 H) berkata tentang perkara yang mengumpulkan kelompok-kelompok Khawarij :
Kelompok-kelompok Khawarij bersepakat dalam hal pengkafiran Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhuma karena beliau menyerahkan hukum[2] dan mereka (kelompok-kelompok Khawarij) berselisih, apakah kekufurannya tersebut merupakan kesyirikan ataukah bukan?
Mereka bersepakat bahwa seluruh dosa besar merupakan kekufuran, kecuali kelompok an-Najdât[3] karena kelompok an-Najdât tidak mengatakan demikian.
Mereka bersepakat bahwasanya Allâh Subhanahu wa Ta’ala mengadzab para pelaku dosa besar yang abadi, kecuali kelompok an-Najdât, para pengikut Najdah (bin ‘Amir).[4]
Abdul-Qâhir al-Baghdâdi (wafat 429 H) berkata:
Para ulama telah berselisih tentang perkara apakah yang mengumpulkan (disepakati) oleh kelompok-kelompok Khawarij yang beragam sekte-sektenya.
Al-Ka’biy dalam kitab Maqalât-nya menyebutkan bahwa yang mengumpulkan seluruh sekte-sekte Khawarij adalah mengkafirkan Ali Radhiyallahu anhu, Utsman Radhiyallahu anhu, dan dua hakim, para peserta perang Jamal, dan seluruh yang ridha dengan penyerahan hukum kepada dua hakim, dan juga pengkafiran karena pelanggaran dosa, dan wajibnya khurûj (memberontak) kepada pemimpin yang zhalim.
Syaikh kami Abul-Hasan al-Asy’ari berkata, “Yang menyebabkan mereka berkumpul adalah pengkafiran (terhadap) Ali, Utsman, para peserta perang Jamal, dan hakim, dan siapa saja yang ridha terhadap penyerahan hukum kepada dua hakim, atau membenarkan kedua hakim tersebut, atau salah satu dari keduanya, dan memberontak kepada penguasa yang zhalim“.
Yang benar adalah yang disebutkan oleh Syaikh kami Abul-Hasan al-Asy’ari dari mereka (Khawarij). Al-Ka’biy telah keliru tatkala menyebutkan bahwa Khawarij bersepakat tentang kafirnya pelaku dosa, karena sekte Khawarij an-Najdât tidak mengkafirkan orang-orang yang melakukan dosa dari orang-orang yang sepakat dengan mereka.[5]
Ibnu Hazm (wafat 456 H) berkata, “Barangsiapa yang sepakat dengan Khawarij dalam hal mengingkari penyerahan hukum (kepada dua hakim), dan mengkafirkan para pelaku dosa benar, serta pendapat (boleh) memberontak kepada para penguasa yang zhalim, dan para pelaku dosa besar kekal di neraka, para penguasa boleh saja dari selain Quraisy, maka dia adalah Khawarij, meskipun ia menyelishi Khawarij pada perkara-perkara yang lain yang diperselisihkan oleh kaum muslimin. Dan jika ia menyelisihi mereka pada perkara-perkara yang kami sebutkan, maka ia bukanlah Khawarij“.[6]
Asy-Syahristâni (wafat 548 H) berkata, “Barang siapa yang memberontak kepada penguasa yang sah yang telah disepakati oleh jama’ah maka (ia) dinamakan khariji, sama saja apakah bentuk pemberontakan tersebut pada zaman para sahabat, yaitu memberontak kepada para khulafâ-ur-rasyidin, atau pemberontakan terjadi setelah itu, yaitu memberontak kepada para tabi’in yang mengikuti para sahabat dengan baik, dan juga memberontak kepada para penguasa di sepanjang zaman … dan Wa’îdiyah termasuk dalam Khawarij; dan merekalah yang menyatakan kafirnya pelaku dosa besar dan kekal di neraka“.[7]
Dari perjelasan para ulama ahli sekte-sekte Khawarij di atas, maka dapat diketahui ada beberapa aqidah yang khusus dan merupakan ciri khas sekte-sekte Khawarij yang disepakati oleh seluruh sekte-sekte Khawarij. Aqidah-aqidah tersebut adalah:
- Pertama, mengkafirkan Ali dan dua hakim, yaitu Abu Musa al-‘Asy’ari dan ‘Amr bin al-‘Âsh Radhiyallahu anhuma.
- Kedua, mengkafirkan para pelaku dosa besar, kecuali sekte an-Najdât yang tidak berpendapat demikian.
- Ketiga, mewajibkan memberontak kepada penguasa yang zhalim.
Inilah aqidah khusus yang disepakati oleh seluruh sekte-sekte Khawarij. Tiga aqidah inilah yang telah dilakukan oleh Khawarij yang muncul pertama kali pada zaman Ali bin Abi Thâlib, (1) mereka telah mengkafirkan Ali bin Abi Thâlib serta sebagian sahabat, dan (2) sebab mereka mengkafirkan karena mereka menganggap Ali bin Abi Thâlib telah terjerumus dalam dosa besar yaitu berhukum kepada selain Allâh (karena Ali menyerahkan hukum kepada dua hakim), dan barang siapa yang terjerumus dalam dosa besar menjadi kafir menurut mereka, (3) sehingga jadilah mereka memberontak kepada pemerintahan Ali bin Abi Thâlib.
Sebagaimana pernyataan Ibnu Hazm rahimahullah bahwasannya barangsiapa memiliki aqidah ini (sepakat dengan Khawarij dalam aqidah ini) meskipun ia menyelisihi Khawarij dalam hal-hal yang lain maka ia adalah (tetaplah sebagai) seorang Khawarij. Adapun jika ia menyelisihi aqidah-aqidah khusus Khawarij ini, maka ia bukanlah Khawarij sebagaimana ditegaskan oleh Ibnu Hazm di atas.
Dengan meninjau kesimpulan di atas, maka marilah kita renungkan tentang kelompok Salafi Wahhâbi, apakah mereka beraqidah sebagaimana aqidah sekte Khawarij?
- Apakah mereka yang disebut Salafi Wahhâbi mengkafirkan Ali, Mu’awiyyah, Aisyah, ‘Amr bin al-‘Âsh, dan para sahabat yang ikut serta dalam perang Jamal dan Shiffin? Ataukah mereka yang justru menjunjung tinggi para sahabat tersebut, dan membela mereka habis-habisan, terutama sahabat Mu’awiyah dan Ummul-Mukminin Aisyah yang telah dikafirkan oleh kaum sekte sesat Syia’h?
- Apakah kaum Salafi Wahhâbi mengkafirkan seorang Muslim hanya dikarenakan satu dosa besar yang dilakukan olehnya? Ataukah justru kaum Salafi Wahhâbi yang getol membantah pemahaman takfiriyin yang hobi mengkafirkan pemerintah? Apakah pernah didapati kaum Salafi Wahhâbi mengkafirkan orang yang berzina, mencuri, atau membunuh orang lain? Kalaupun kaum Salafi Wahhâbi mengkafirkan maka yang mereka kafirkan adalah orang yang dinyatakan kafir oleh al-Qur`ân dan as-Sunnah, dan itupun setelah ditegakkan hujjah dan penjelasan kepadanya.
- Apakah kaum Salafi Wahhâbi menyerukan untuk memberontak kepada pemerintah? Ataukah justru kaum Salafi Wahhâbi yang senantiasa menyeru untuk taat kepada pemerintah? Barang siapa yang mengikuti kajian-kajian yang disampaikan oleh para dai salafi, maka ia akan memahami bahwasanya kaum salafi sangat memerangi sikap oposisi kepada pemerintah.
Kedua, Kaum Wahhâbi Dituduh telah Mengkafirkan Kaum Muslimin
Syaikh Muhammad bin Abdil-Wahhâb dituduh mengkafirkan seluruh kaum Muslimin yang tidak mengikutinya.
Ini merupakan tuduhan dusta yang telah beliau bantah dalam tulisan-tulisannya. Sebagai bukti nyata, Kerajaan Arab Saudi yang meneruskan dakwah beliau ternyata tidak mengkafirkan para jama’ah haji yang berjuta-juta datang setiap tahunnya. Jika para jama’ah haji dianggap kafir dan musyrik, tentu mereka adalah najis dan tidak boleh menginjak tanah Haram di Mekkah. Bahkan kenyataannya Kerajaan Arab Saudi justru terus meningkatkan pelayanan kepada para jama’ah haji. Kaum Wahhâbi adalah kaum yang sangat berhati-hati dalam mengkafirkan.
Asy-Syaikh Abdul-Lathîf bin Abdirrahmân Âlu Syaikh berkata: “Syaikh Muhammad bin Abdil-Wahhâb rahimahullah termasuk orang yang paling menjaga dan menahan diri dari menyatakan kekafiran, bahkan sampai-sampai beliau tidak memastikan kafirnya seorang yang jahil yang berdoa kepada selain Allâh dari kalangan penghuni kubur atau yang lainnya, jika tidak dimudahkan baginya adanya orang yang mengingatkannya”.[8]
Syaikh Muhammad bin Abdil-Wahhâb berkata: “Permasalahan memvonis kafir orang tertentu adalah permasalahan yang ma’ruf (dikenal), jika seseorang mengucapkan suatu perkataan yang menimbulkan kekafiran, maka dikatakan: ‘Barang siapa yang mengatakan perkataan ini maka ia kafir,’ akan tetapi orang tertentu jika mengucapkan perkataan tersebut maka tidak dihukumi menjadi kafir hingga ditegakkan hujjah kepadanya yang seseorang menjadi kafir karena meniggalkan hujjah teresbut”.[9]
Beliau juga berkata:
“Adalah kedustaan, seperti perkataan mereka bahwasanya kami mengkafirkan secara umum, kami mewajibkan orang yang mampu untuk menampakkan agamanya untuk berhijrah kepada kami, kami mengkafirkan orang yang tidak mengkafirkan, juga mengkafirkan orang yang tidak berperang; dan kedustaan seperti ini banyak dan dilakukan secara terus-menerus. Semua ini adalah kedustaan yang menghalangi manusia dari agama Allâh dan Rasul-Nya.
Jika kami tidak mengkafirkan orang-orang yang menyembah berhala yang ada pada Abdul-Qadir, dan berhala yang ada di kuburan Ahmad al-Baidawi dan yang semisal mereka berdua dikarenakan kejahilan dan tidak adanya orang yang mengingatkan mereka, maka bagaimana kami lantas mengkafirkan orang yang tidak berbuat kesyirikan kepada Allâh jika ia tidak berhijrah kepada kami, atau tidak mengkafirkan, dan tidak berperang? Maha suci Allâh, ini merupakan kedustaan besar”.[10]
Beliau juga berkata: “Adapun takfîr (pengkafiran), maka aku mengkafirkan orang yang mengetahui agama Rasûlullâh, kemudian setelah ia mengetahui agama Rasul (tetapi) lalu ia mencelanya dan melarang manusia dari agama tersebut serta memusuhi orang yang menjalankan agama Rasul; maka orang inilah yang aku kafirkan. Dan mayoritas umat –al-hamdulillâh– tidak seperti ini”.[11]
Berikut keyakinan kaum Wahhâbi tentang takfîr (pengkafiran).
Pertama, Kaum Salafi Wahhâbi memandang bahwa takfîr (pengkafiran) merupakan hak Allâh. Karenanya tidak boleh mengkafirkan kecuali orang yang telah dikafirkan oleh Allâh dan Rasul-Nya. Yaitu pengkafiran harus dibangun berdasarkan dalil syar’i.
Kedua, Kaum Salafi Wahhâbi hanya mengkafirkan dengan perkara-perkara yang merupakan Ijma’ ulama.
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdil-Wahhâb berkata saat beliau rahimahullah ditanya: “Atas (landasan) apa ia berperang? Apa yang menyebabkan seseorang dikafirkan?”, maka beliau rahimahullah menjawab: “Rukun-rukun Islam yang lima, yang pertama adalah dua syahadat, kemudian empat rukun. Adapun keempat rukun jika dia mengakuinya namun meninggalkan/tidak melaksanakannya karena lalai, maka kami –meskipun kami memeranginya agar ia mengerjakan keempat rukun- akan tetapi kami tidak mengkafirkannya karena ia meninggalkannya, sementara para ulama berselisih tentang kafirnya orang yang meninggalkan keempat rukun karena malas tanpa menentang wajibnya empat rukun tersebut. Dan kami tidak mengkafirkan kecuali perkara yang disepakati oleh seluruh ulama, yaitu dua syahadat. Selain itu kami juga mengkafirkannya setelah memberi penjelasan kepadanya jika ia telah tahu dan tetap mengingkari”.[12]
Ketiga, Kaum Salafi Wahhâbi memandang perbedaan antara takfîr mutlaq dan takfîr mu’ayyan. Takfîr mutlaq, seperti halnya perkataan para ulama “barang siapa yang mengatakan al-Qur`ân makhluk maka ia kafir”, akan tetapi tidak serta merta setiap orang yang mengatakan al-Qur`ân makhluk lantas kita kafirkan.
Keempat, Kaum Salafi Wahhâbi meyakini bahwa seseorang yang melakukan kekafiran atau mengucapkan kekafiran tidaklah langsung divonis kafir kecuali setelah memenuhi persyaratan (seperti ditegakkannya hujjah dan berusaha menghilangkan syubhat yang bercokol di kepalanya) serta tidak adanya perkara-perkara yang menghalangi pengkafiran (seperti kebodohan, baru masuk Islam, tinggal di daerah pedalaman sehingga tidak mengerti, atau karena dipaksa mengucapkan/melakukan kekafiran, dan lain-lain).
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Ttidak seorangpun boleh mengkafirkan seorang pun dari kaum Muslimin meskipun ia keliru atau bersalah hingga ditegakkah hujjah kepadanya dan jelas baginya hujjah. Barang siapa yang secara yakin Islamnya tegak maka tidaklah Islam tersebut hilang darinya hanya dengan keraguan, akan tetapi bisa hilang jika setelah menegakkan hujjah dan menghilangkan syubhat“.[13]
Ibnu Taimiyyah juga berkata: “Adapun memvonis orang tertentu dengan hukum kafir atau disaksikan masuk neraka maka hal ini berhenti/tergantung kepada dalil yang tertentu (khusus), karena penerapan vonis tersebut tergantung pada adanya persyaratan dan hilangnya halangan-halangan”.[14]
Ketiga, Kaum Wahhâbi Dituduh Memiliki Aqidah Tajsîm Dan Tasybîh
Tajsîm dan tasybih yang merupakan kekufuran adalah jika kita mengatakan bahwa tangan Allâh seperti tangan kita, wajah Allâh seperti wajah kita, penglihatan Allâh seperti penglihatan kita. Hal ini sebagaimana halnya jika kita mengatakan bahwa ilmu Allâh seperti ilmu kita dan kekuatan Allâh seperti kekuatan kita.[15]
Imam at-Tirmidzi dengan menukil perkataan Imam Ishâq bin Rahûyah, beliau berkata:
Ishâq bin Ibrahim berkata: Hanyalah merupakan tasybîh jika ia berkata ‘tangan Allâh seperti tangan (manusia) atau pendengaran Allâh seperti pendengaran (manusia)’. Jika ia berkata ‘pendengaran (Allâh) seperti pendengaran (manusia/makhluk)’, maka inilah tasybîh.
Adapun jika ia berkata sebagaimana yang dikatakan oleh Allâh: “Tangan, pendengaran, dan penglihatan Allâh, dan ia tidak mengatakan bagaimananya serta tidak mengatakan bahwasanya pendengaran Allâh seperti pendengaran (makhluk), maka hal ini bukanlah tasybîh. Hal ini sebagaimana firman Allâh dalam al-Qur`ân:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan melihat.[16]
Al-Imam Ahmad berkata, “Barangsiapa yang berkata ‘Penglihatan Allâh seperti penglihatanku dan tangan Allâh seperti tanganku, serta kaki Allâh seperti kakiku,’ maka ia telah mentasybîh (menyerupakan) Allâh dengan makhluk-Nya”.[17]
Karenanya menyatakan bahwa Allâh memiliki sifat ilmu, qudrah, penglihatan, pendengaran, berbicara akan tetapi tidak sama dengan ilmu manusia, qudrah manusia, penglihatan dan pembicaraan manusia; maka demikian ini bukan tasybîh atau tajsîm, bahkan ini adalah tauhid kepada Allâh. Yaitu menetapkan sifat-sifat Allâh yang termaktub dalam al-Qur’ân dan Sunnah akan tetapi sifat-sifat tersebut maha tinggi dan tidak akan sama dengan sifat-sifat makhluk.
Allâh berfirman:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan melihat. [asy-Syûra/42:11].
Perhatikanlah dalam ayat ini, Allâh menyatakan bahwa Allâh Maha Mendengar dan Maha Melihat, akan tetapi tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Allâh, sehingga penglihatan dan pendengaran Allâh tidak seperti penglihatan dan pendengaran manusia atau makhluk.
Aqidah Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah tentang sifat-sifat Allâh dibangun di atas mensifati Allâh sesuai dengan apa yang Allâh sifatkan tentang diri-Nya dalam al-Qur`ân atau melalui Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits-haditsnya tanpa adanya (1) tahrîf dan (2) ta’thîl serta tanpa (3) takyîf dan (4) tamtsîl.[18]
Secara bahasa, tahrîf adalah merubah atau mengganti,[19] dan secara terminology, tahrîf -yang berkaitan dengan sifat-sifat Allâh- adalah merubah lafal-lafal nash yang berkaitan dengan sifat-sifat Allâh atau merubah makna dari lafal-lafal tersebut.[20] Sedangkan ta’thîl, secara terminologi adalah menolak sifat-sifat Allâh yang datang dalam nash-nash al-Qur`ân maupun hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , baik menolak sebagian sifat (sebagaimana dilakukan oleh kaum Asyâ’irah dan al-Mâturîdiyah) ataupun menolak seluruh sifat-sifat Allâh (sebagaimana yang dilakukan oleh kaum al-Jahmiyah dan al-Mu’tazilah). Adapun takyîf, secara terminologi adalah membagaimanakan sifat-sifat Allâh, seperti menyatakan bahwa sifat Allâh begini dan begitu tanpa dalil, dan tanpa menyamakan dengan makhluk.[21] Dan tamtsîl, secara terminologi adalah membagaimanakan sifat Allâh dengan menyamakan sifat Allâh seperti sifat makhluk, seperti menyatakan bahwa tangan Allâh sama seperti tangan manusia, turunnya Allâh sama seperti turunnya manusia, penglihatan Allâh seperti penglihatan manusia, dan seterusnya.[22]
Aqidah inilah yang disepakati oleh para imam Salaf umat ini. Ibnu Abdil-Barr t (salah seorang ulama besar madzhab Maliki, wafat tahun 463 H) telah menukil Ijma’ (consensus) Ahlus-Sunnah terkait aqidah ini. Beliau rahimahullah berkata dalam kitabnya yang sangat mashur, at-Tamhîd Limâ fi al-Muwattha` min al-Ma’âniy wa al-Asânîd:
“Ahlus-Sunnah Ijma’ (berkonsensus) dalam menetapkan seluruh sifat-sifat Allâh yang terdapat dalam al-Qur`ân dan as-Sunnah, dan sepakat untuk beriman kepada sifat-sifat tersebut. Adapun ahlul- bid’ah, Jahmiyah dan Mu’tazilah seluruhnya, demikian juga kaum Khawarij seluruhnya mengingkari sifat-sifat Allâh; mereka tidak membawakan sifat-sifat Allâh pada makna hakikatnya, dan mereka menyangka bahwasanya barang siapa yang menetapkan sifat-sifat tersebut maka ia adalah musyabbih. Mereka ini di sisi para penetap sifat-sifat Allâh adalah para penolak Allâh yang disembah. Dan al-haq (kebenaran) pada apa yang dikatakan oleh mereka yang berbicara sebagaimana yang dikatakan oleh al-Qur`ân dan sunnah Rasul-Nya, dan mereka adalah para imam Jama’ah, al-hamdulillâh“.[23]
Sebagaimana hal ini juga telah disebutkan oleh al-Imam at-Tirmidzi dalam sunannya. Imam at-Tirmidzi meriwayatkan sebuah hadits yang menyebutkan tentang sifat tangan kanan Allâh, ia berkata: “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya Allâh menerima sedekah dan mengambilnya dengan tangan kanannya, lalu Allâh mentarbiyahnya (mengembangkannya) untuk salah seorang dari kalian sebagaimana salah seorang dari kalian mengembangkan kuda kecilnya. Sampai-sampai sesuap makanan sungguh-sungguh menjadi seperti gunung Uhud’.”[24]
Setelah meriwayatkan hadits ini, kemudian at-Tirmidzi berkata: “Telah berkata lebih dari satu dari kalangan ahli ilmu tentang hadits ini dan riwayat-riwayat hadits yang lain tentang sifat-sifat Allâh, dan turunnya Allâh setiap malam ke langit dunia; mereka berkata, telah tetap riwayat-riwayat tentang sifat-sifat Allâh dan diimani, tidak dikhayalkan, serta tidak dikatakan bagaimananya sifat-sifat tersebut”.[25]
Demikianlah diriwayatkan dari Imam Malik, Sufyan bin ‘Uyainah, dan Abdullâh bin al-Mubârak, bahwasanya mereka berkata tentang hadits-hadits ini: “Tetapkan hadits-hadits tersebut tanpa membagaimanakannya”. Dan demikianlah perkataan para ulama Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah. Adapun Jahmiyah, mereka mengingkari riwayat-riwayat ini dan mereka berkata bahwasanya hal ini adalah tasybîh.
Terdapat lebih dari satu tempat dalam al-Qur`ân bahwa Allâh menyebutkan tentang tangan, pendengaran, dan penglihatan. Kaum Jahmiyah mentakwil ayat-ayat ini dan menafsirkannya dengan tafsiran yang tidak sesuai dengan tafsir para ahli ilmu. Jahmiyah berkata: “Sesungguhnya Allâh tidak menciptakan Adam dengan tangan-Nya,” dan Jahmiyah berkata, “Makna tangan di sini adalah kekuatan”.[26]
Menetapkan sifat-sifat Allâh sebagaimana lahiriahnya tanpa mentasybîh dengan sifat-sifat makhluk merupakan aqidah para imam empat madzhab.
Imam Abu Hanîfah t berkata: “Allâh memiliki tangan, wajah, dan jiwa sebagaimana yang Allâh sebutkan dalam al-Qur`ân. Apa yang disebutkan oleh Allâh dalam al-Qur`ân berupa penyebutan tentang wajah, tangan, dan jiwa maka itu adalah sifat-sifat Allâh, tanpa membagaimanakannya. Dan tidak dikatakan sesungguhnya tangannya adalah qudrah (kemampuan)-Nya atau nikmat-Nya, karena hal ini menolak sifat, dan ini adalah perkataan para penolak taqdir dan kaum Mu’tazilah; akan tetapi tangan-Nya adalah sifat-Nya tanpa membagaimanakannya. Kemarahan-Nya dan keridhaan-Nya adalah dua sifat yang termasuk sifat-sifat Allâh tanpa membagaimanakannya”.[27]
Imam Mâlik rahimahullah tatkala ditanya tentang bagaimanakah istiwâ Allâh, maka beliau berkata: “Istiwâ diketahui (tidak dijahili maknanya), dan bagaimananya tidak bisa dipikirkan, dan mengimaninya adalah wajib, serta bertanya tentang bagaimananya adalah bid’ah“.[28]
Ibnu Qudamah meriwayatkan atsar dari Imam Syafii, Ibnu Qudamah berkata: Yunus bin ‘Abdil-A’la berkata, aku mendengar Abu Abdullâh Muhammad bin Idris asy-Syafii, tatkala ditanya tentang sifat-sifat Allâh dan apa yang diimani oleh asy-Syafii, maka asy-Syafii berkata: “Allâh memiliki nama-nama dan sifat-sifat yang terdapat dalam kitab-Nya (al-Qur`ân) dan dikabarkan oleh Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umatnya; tidak boleh seorang pun dari makhluk Allâh yang telah tegak hujjah kepadanya untuk menolaknya karena al-Qur`ân telah menurunkan nama-nama dan sifat-sifat tersebut, dan telah sah dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang nama-nama dan sifat-sifat tersebut sebagaimana diriwayatkan oleh para perawi yang adil (tsiqah/terpercaya). Jika seseorang menyelisihinya setelah tetapnya hujjah kepadanya maka ia kafir; adapun sebelum tegaknya hujjah maka ia mendapat udzur karena kejahilan, karena ilmu tentang hal ini (nama-nama dan sifat-sifat Allâh) tidak bisa diketahui dengan akal, atau dengan pemikiran, dan kami tidak mengkafirkan seorangpun yang jahil (tidak tahu), kecuali setelah sampai kabar tentang hal tersebut kepadanya. Kami menetapkan sifat-sifat ini dan kami menolak tasybîh dari sifat-sifat tersebut sebagaimana Allâh telah menolak tasybîh dari diri-Nya.[29]
Ibnu Qudâmah berkata dalam kitabnya, Dzam at-Takwil, hlm. 20: Abu Bakr al-Marwazi berkata: Dan telah mengabarkan kepadaku Ali bin Isa bahwasanya Hanbal telah menyampaikan kepada mereka, ia berkata, “Aku bertanya kepada Abu Abdillâh (al-Imam Ahmad) tentang hadits-hadits yang diriwayatkan ‘sesungguhnya Allâh turun setiap malam ke langit dunia,’ dan ‘sesungguhnya Allâh dilihat,’ dan ‘sesungguhnya Allâh meletakkan kaki-Nya,’ dan hadits-hadits yang semisal ini,” maka Abu Abdillâh (al-Imam Ahmad) berkata, “Kami beriman dengan hadits-hadits ini dan kami membenarkannya, tanpa ada bagaimananya dan tanpa memaknainya (mentakwilnya) dan kami tidak menolak sedikitpun dari hadits-hadits ini, dan kami mengetahui bahwasanya apa yang datang dari Rasûlullâh adalah benar jika datang dengan sanad-sanad yang shahîh, dan kami tidak menolak sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dan tidaklah Allâh disifati lebih dari apa yang Allâh sifatkan diri-Nya sendiri, atau pensifatan Rasul-Nya tentang Allâh, tanpa adanya batasan
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
(tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan melihat).
Orang-orang yang mensifati (Allâh) tidak akan sampai kepada sifat-Nya (yang sebenarnya) dan sifat-sifat-Nya dari-Nya. Kami tidak melebihi al-Qur`ân dan Hadits, maka kami mengatakan sebagaimana yang dikatakan oleh Allâh, dan kami mensifati sebagaimana yang Allâh sifati diri-Nya, kami tidak melampauinya, kami beriman kepada seluruh al-Qur`ân yang muhkam maupun yang mutasyabih, dan kami tidak menghilangkan satu sifat pun dari sifat-sifat Allâh hanya karena celaan”.
Demikianlah aqidah empat imam madzhab Ahlus-Sunnah, bahwasanya mereka menetapkan sifat-sifat Allâh sebagaimana yang ditunjukan oleh ayat-ayat dan hadits-hadits yang shahîh, akan tetapi mereka menafikan tasybîh dan penyamaan dengan sifat-sifat makhluk. Mereka menetapkan sifat tangan Allâh akan tetapi tidak seperti tangan makhluk; demikian pula wajah Allâh, sebagaimana penglihatan dan pendengaran Allâh tidak seperti penglihatan dan pendengaran makhluk.
Meskipun Ahlus-Sunnah menetapkan sifat-sifat Allâh, akan tetapi mereka menyerahkan hakikat bagaimana sifat-sifat tersebut hanya kepada Allâh saja. Karena akal dan ilmu manusia tidak akan mampu menangkap bagaimananya hakikat sifat-sifat Allâh tersebut. Allâh telah berfirman:
وَلَا يُحِيطُونَ بِهِ عِلْمًا
Ilmu mereka tidak dapat meliputi-Nya. [Thâhâ/20:110].
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Madzhab Salaf –semoga Allâh meridhai mereka- menetapkan sifat-sifat Allâh dan memperlakukan sifat-sifat tersebut sebagaimana zhahirnya (lahiriyahnya) dan menafikan bagaimananya hakikat sifat-sifat tersebut. Karena pembiaraan tentang sifat-sifat Allâh adalah cabang dari pembicaraan tentang Dzat Allâh. Dan penetapan Dzat Allâh adalah menetapkan adanya wujudnya Dzat Allâh bukan menetapkan bagaimananya Dzat Allâh, maka demikian pula penetapan sifat-sifat Allâh. Inilah madzhab para salaf seluruhnya”.[30]
Hal ini berbeda dengan musyabbihah yang membagaimanakan sifat-sifat Allâh atau menyerupakan sifat-sifat Allâh dengan sifat-sifat makhluk.
Kaum mu’atthilah menolak sifat-sifat Allâh. Ada di antara mereka yang menolak sebagian sifat, seperti kaum Asyâ’irah dan Maturidiah. Juga ada di antara mereka yang menolak seluruh sifat, seperti kaum Jahmiyah dan Mu’tazilah.
Mereka menganggap penetapan setiap sifat Allâh melazimkan telah mentasybîh (menyerupakan) Allâh dengan makhluknya. Padahal menyatakan Allâh dan makhluk sama-sama memiliki pendengaran dan penglihatan bukanlah tasybîh atau tajsîm yang merupakan kekufuran. Hanya saja yang merupakan kekufuran, ialah jika kita menyatakan bahwa penglihatan dan pendengaran Allâh seperti penglihatan dan pendengaran manusia –sebagaimana telah lalu penjelasannya. Bahkan hingga Jahmiyah dan Mu’tazilah (yang menolak seluruh sifat Allâh) menamakan Asyâ’irah sebagai musyabbihah karena telah menetapkan sebagian sifat Allâh.
Di antara tuduhan Mu’atthilah (para penolak sifat-sifat Allâh) adalah menuduh Ahlus-Sunnah sebagai mujâsim dan musyabbih. Hal ini telah jauh-jauh hari diingatkan oleh para ulama salaf.
Abu Zur’ah ar-Râzi (wafat 264 H) berkata:
“Mu’atthilah (para penolak sifat yang mengingkari sifat-sifat Allâh Azza wa Jalla ), yang Allâh telah mensifati diri-Nya di dalam al-Qur`ân dan melalui lisan Nabi-Nya, dan mereka (Mu’atthilah) mendustakan hadits-hadits shahîh yang datang dari Rasûlullâh tentang sifat-sifat, lalu mereka mentakwilnya dengan pemikiran mereka yang terbalik agar sesuai dengan keyakinan mereka yang sesat, lalu mereka menisbahkan para perawi hadits-hadits tersebut kepada tasybîh. Maka barang siapa yang menisbahkan orang-orang yang mensifati Rabb mereka –Tabaraka wa Ta’âla– dengan sifat-sifat -yang Allâh mensifati dirinya di dalam al-Qur`ân dan melalui lisan Nabi-Nya tanpa tamtsîl dan tasybîh– kepada tasybîh maka ia adalah seorang mu’atthil yang menafikan sifat. Dan mereka (para mu’atthil) diketahui dengan sikap mereka yang menisbahkan para penetap sifat-sifat Allâh kepada tasybîh. Demikianlah, yang para ulama katakan, di antaranya Abdullâh bin al-Mubârak (wafat 181 H) dan Wakî’ bin al-Jarâh (wafat 197 H)”.[31]
Ishâq bin Rahûyah (wafat 238 H) berkata: “Tanda Jahm (bin Shafwan) dan para sahabatnya –yang gemar berdusta- adalah mereka menuduh Ahlu Sunnah wal-Jamâ’ah bahwasanya mereka adalah musyabbihah. Bahkan justru merekalah (Jahm dan pengikutnya) adalah mu’atthilah“.[32]
Abu Bakar Abdullah bin az-Zubair al-Humaidi asy-Syafii (wafat 219) berkata:
“Apa yang diucapkan oleh al-Qur`ân dan hadits, seperti:
وَقَالَتِ الْيَهُودُ يَدُ اللَّهِ مَغْلُولَةٌ ۚ غُلَّتْ أَيْدِيهِمْ
Orang-orang Yahudi berkata: “Tangan Allâh terbelenggu,” sebenarnya tangan merekalah yang dibelenggu. [al-Mâ-idah/5:64].
Dan seperti:
وَالسَّمَاوَاتُ مَطْوِيَّاتٌ بِيَمِينِهِ
Dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. [az-Zumar/39:67]
Dan yang semisal ayat-ayat ini dalam al-Qur`ân dan hadits, maka kami tidak menambahkannya dan kami tidak menafsirkannya (dengan takwil-takwil), dan kami berhenti sesuai dimana berhentinya al-Qur`ân dan al-Hadits, dan kami berkata:
الرَّحْمَٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَىٰ
(yaitu) Tuhan yang Maha Pemurah, yang ada di atas ‘Arsy. [Thâhâ/20:5].
Dan barang siapa yang menyangka selain dari ini maka ia adalah mu’atthil Jahmiah.[33]
Inilah kaum yang telah jauh-jauh diperingatkan oleh para imam kaum Muslimin akan bahaya mereka.
Keempat, Kaum Wahhâbi Dituduh Melarang Bershalawat Kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
Tentunya ini merupakan tuduhan dusta. Justru kaum Wahhâbi sangat menganjurkan untuk bershalawat. Salah seorang ulama yang menjadi sumber inspirasi kaum Wahhâbi, yaitu Imam Ibnul-Qayyim t (murid Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah) telah menulis sebuah buku khusus tentang keutamaan bershalawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berjudul جَلاَءُ الأَفْهَامِ فِي فَضْلِ الصَّلاَةِ عَلَى خَيْرِ الأَنَامِ.
Adapun yang dilarang adalah shalawat-shalawat bid’ah yang berisi makna-makna menyimpang. Seperti halnya shalawat Fâtih yang dipopulerkan Thariqoh at-Tijâniyah -yang menurut anggapan mereka- keutamaan membaca shalawat ini sekali saja seperti mengkhatamkan al-Qur`ân 6000 kali.
Kelima, Kaum Wahhâbi Dituduh Membenci Ahlul-Bait (Keluarga Nabi)
Tuduhan ini merupakan kedustaan –karena- bahkan Syaikh Muhammad bin Abdil-Wahhâb telah memberi nama anak-anak beliau dengan nama-nama ahlul-bait. Di antara nama anak-anak beliau adalah Hasan, Husain, Ali, Ibrahim, Abdullâh, Abdulaziz, Fathimah. Tentunya seorang yang berakal tidak akan memberi nama anaknya dengan nama orang yang ia benci, akan tetapi justru sebaliknya ia akan memberinya nama dengan nama orang yang ia cintai.
Keenam, Kaum Wahhâbi Dituduh Melarang Ziarah Kubur
Ini juga merupakan tuduhan dusta, malah justru kaum Wahhâbi sangat menganjurkan ziarah kubur yang merupakan sunnah yang sangat dianjurkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengingat akhirat dan mendoakan penghuni kubur. Akan tetapi yang dilarang adalah ziarah kubur yang di dalamnya terdapat praktek (amaliyah) perkara-perkara yang menyelisihi Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , seperti meminta atau beristighatsah kepada mayat penghuni kubur, atau beribadah di kuburan, karena hal ini menyelisihi dan melanggar sabda-sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Ketujuh, Syaikh Muhammad Bin Abdil-Wahhâb Dituduh Mengaku Sebagai Nabi
Ini merupakan kedustaan yang amat sangat dan pernah disampaikan oleh Ahmad Zaini Dahlan yang dengki kepada dakwah beliau. Subhânallâh, sedemikian keji Dahlan menuduh Syaikh Muhammad bin Abdil-Wahhâb mengaku sebagai seorang nabi. Padahal, sungguh terlalu banyak perkataan Syaikh Muhammad bin Abdil-Wahhâb yang tegas menyatakan bahwa Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah nabi terakhir, penutup para nabi.
Di antara perkataan Syaikh Muhammad bin Abdil-Wahhâb ialah: “Manusia mengetahui bahwasanya tatkala Allâh menciptakan kita maka Allâh tidak memebiarkan kita begitu saja, akan tetapi Allâh mengutus para rasul kepada kita. Rasul yang pertama adalah Nuh, dan yang terakhir adalah Muhammad ‘alaihimus-sallam. Dari para rasul tersebut kita memperoleh Rasul yang terakhir dan yang paling mulia, yaitu Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dan kita adalah umat yang terakhir“.[34]
Syaikh juga berkata: “Rasul yang pertama adalah Nuh q , dan yang terakhir adalah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dan ia adalah penutup para nabi, tidak ada lagi nabi setelahnya. Dalilnya adalah firman Allâh ‘Bukanlah Muhammad adalah ayah salah seorang dari kalian akan tetapi ia adalah Rasûlullâh dan penutup para nabi’.”[35]
Syaikh juga mengkafirkan orang yang mengaku sebagai nabi setelah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Begitu pula yang membenarkan adanya nabi setelah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga dihukumi kafir oleh Syaikh. Beliau berkata: “Barang siapa yang berbuat syirik kepada Allâh maka ia telah kafir setelah Islamnya… atau mengaku sebagai nabi, atau membenarkan orang yang mengaku sebagai nabi setelah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam “.[36]
Beliau juga berkata: “Mereka, para sahabat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerangi Bani Hanifah –padahal Banu Hanifah telah masuk Islam pada masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam – dan mereka bersaksi bahwasanya tidak ada sesembahan yang berhak disembah melainkan Allâh dan bahwasanya Muhammad adalah Rasûlullâh, mereka mengumandangkan adzan dan mereka shalat.”
Jika ada yang berkata: “Akan tetapi Banu Hanifah (dikafirkan dan diperangi, karena) mereka mengatakan bahwa Musailamah adalah nabi,” maka katakanlah: “Inilah yang dimaksud, jika seseorang yang mengangkat seseorang hingga derajat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (maka ia) menjadi kafir, halal darah dan hartanya, serta tidak bermanfaat dua kalimat syahadatnya dan juga shalatnya, maka bagaimana lagi dengan orang yang mengangkat Samson, atau Yusuf, atau sahabat, atau nabi ke derajat Allah penguasa langit dan bumi?”[37]
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun XVII/1434H/2013M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] HR at-Tirmidzi, no 1931. Dihasankan oleh at-Tirmidzi dan dishahîhkan oleh al-Albani.
[2] Yaitu kepada dua hakim, Pen.
[3] Salah satu firqah dari pecahan firqah-firqah Khawarij, yaitu merupakan pengikut seseorang yang bernama Najdah bin ‘Âmir, Pen.
[4] Maqâlât al-Islâmiyîn wa Ikhtilâf al-Mushallîn, Cet. al-Maktabah al-‘Ashriyah, Beirut, 1/167-168.
[5] Al-Farqu Baina al-Firaq, Cet. Maktabah Muhammad Ali Subaih, Mesir, hlm. 73.
[6] Al-Fishal fi al-Milal wa al-Ahwâ` wa an-Nihal, tahqîq: Dr. Abdurrahim ‘Umairoh, Daar al-Jail, Beirut, 2/270.
[7] Al-Milal wa an-Nihal, Daar al-Ma’rifah, Beirut, Libanon, Cet. Ke-3, 1/132.
[8] Minhâj at-Ta’sîs, hlm. 98.
[9] Ad-Durar as-Saniyyah, 10/432-433.
[10] Ad-Durar as-Saniyyah, 1/104.
[11] Ad-Durar as-Saniyyah, 1/73.
[12] Ad-Durar as-Saniyyah, 1/102, lihat juga 11/317.
[13] Majmû` al-Fatâwâ, 12/466.
[14] Majmû` al-Fatâwâ, 12/498.
[15] Lihat Syarah al-‘Aqidah ath-Thahawiyah (hlm. 53), Dar at-Ta’ârud (4/145), dan Maqâlât at-Tasybîh wa Mauqif Ahlis-Sunnah minhâ (1/79).
[16] Lihat Sunan at-Tirmidzi (3/42) kitab az-Zakât, Bab: Mâ Jâ a fi Fadhl ash-Shadaqah, di bawah hadits no. 662.
[17] Diriwayatkan oleh al-Khallâl dengan sanadnya dalam kitabnya, as-Sunnah sebagaimana telah dinukil oleh Ibnu Taimiyyah dalam Dar at-Ta’ârud (2/32), dan Ibnul-Qayyim dalam Ijtimâ’ al-Juyûsy al-Islâmiyah, hlm. 162.
[18] Lihat al-Aqidah al-Washithiyyah, syarah Khalil Harrâs, hlm. 47-48.
[19] Lihat Mu’jam Maqâyîs al-Lughah (2/42) dan Lisânul-‘Arab (10/387).
[20] Lihat ash-Shawâ’iq al-Mursalah, 1/215-216.
[21] Lihat al-Qawâ’id al-Mutslâ, syarh al-Mujalâ, hlm. 206.
[22] Lihat al-Qawâ’id al-Mutslâ, syarh, al-Mujalâ, hlm. 202.
[23] At-Tamhîd, 7/145.
[24] Lihat HR at-Thirmidzi, no. 662.
[25] At-Tirmidzi dalam Sunan-nya, 3/41.
[26] Demikian penjelasan at-Tirmidzi dalan Sunan-nya, 3/42.
[27] Lihat Syarh al-Fiqh al-Akbar, karya Syaikh Abu al-Muntah Ahmad bin Muhammad al-Hanafi (hlm. 120-122), dan juga asy-Syarh al-Muyassar li al-Fiqh al-Akbar, karya al-Khamîs (hlm. 42).
[28] Atsar perkataan Imam Malik ini shahîh dari banyak jalan. Silahkan melihat takhrîj atsar ini secara detail dalam buku al-Atsar al-Masyhûr ‘an al-Imam Mâlik fi Sifat al-Istiwâ`, karya Syaikh Abdur-Razzâq al-‘Abbad, hlm. 35-51.
[29] Kitab Itsbât Sifat al-‘Uluw, karya Ibnu Qudamah (hlm. 181) dan juga dalam kitab beliau, Dzam at-Ta’wîl, hlm. 21.
[30] Majmû’ al-Fatâwâ, 4/6-7.
[31] Al-Hujjah fi Bayân al-Mahajjah, 1/187 dan 1/196-197.
[32] Syarh Ushûl I’tiqâd Ahli as-Sunnah wa al-Jamâ’ah, 2/588.
[33] Dzam at-Takwîl, 1/24.
[34] Ad-Durar as-Saniyyah, 1/168.
[35] Ad-Durar as-Saniyyah, 1/135.
[36] Ad-Durar as-Saniyyah, 10/88.
[37] Kasyf as-Subhât, hlm. 32.
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/3936-menjawab-tuduhan-dusta-terhadap-dakwah-syaikh-muhammad-bin-abdil-wahhab.html